Rabu, 07 Januari 2015



SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
PERSATUAN GURU REPUBLIK INDONESIA (PGRI) JOMBANG
STKIP PGRI JOMBANG
Jl. Pattimura III/20 Jombang Telp. (0321) 861319
 

UJIAN AKHIR SEMESTER GENAP TAHUN AKADEMI 2014/2015
Mata Kuliah                      : Profesi Pendidikan
Hari/Tgl                            : Kamis/ 08 Januari 2015
Jam Ke-                            : 1
Jurusan/Angkatran            : Pendidikan Bahasa Inggris/2013 B
Dosen Pengampuh            : Aang Fatihul Islam, M.Pd.
 

Salah Paham Memaknai Bimbingan dan Konseling
Bimbingan konseling atau yang biasa disebut dengan BK, saat ini menjadi ujung tombak mencetak generasi peserta didik yang patuh akan aturan dan menyiapkan mereka pada jenjang yang sudah mereka (peserta didik) tentukan sebelumnya. BK ini, menurut beberapa pengalaman yang sudah terjadi, hanya trend dikalangan peserta didik yang sering sekali melanggar peraturan. Dan sangat menakutkan bagi peserta didik yang normal-normal saja dalam pelaksanaan pembelajaran di sekolah. yang artinya, hal ini tidak lagi relevan dengan fungsi BK yang seharusnya, dan akan sangat menghambat kinerja BK, untuk melakukan kroscek lebih mendalam mengenai siswa baik itu melanggar, berprestasi dan biasa-biasa saja.
Beberapa guru atau pelaku pendidikan di sekolah memandang keliru tentang fungsi dan peran BK yang ada di sekolah
a)    Disamakan saja atau dipisahkan sama sekali dari Proses pendidikan. Artinya Bimbingan konseling terpisah dengan yang namanya proses pendidikan dimana, tidak ada sangkut pautnya dengan komponen pendidikan lain, yang menyebabkan kesan sendiri dalam menangani masalah tanpa bantuan dari guru-guru lain nya.
b)   BK hanya dipandang sebagai polisi sekolah. fenomena tersebut yang hampir ditemukan diseluruh dunia pendidikan setingkat SMP dan SMA ataupun sederajat. Hanya menganggap BK sebagai penegak kedisiplinan dan “menilang” mereka yang melangggar aturan.
c)    BK hanya menangani masalah yang bersifat insidental. Memiliki pengertian bahwa BK hanya menangani kasus yang tiba-tiba terjadi, yang hanya bersifat sementara dan kecil. Dan lepas tanggung jawab apabila hal yang bersifat massive dan sistematis terjadi di lingkugnan sekolah.
d)   BK hanya bekerja sendiri. Hal tersebut sangat riskan terjadi, karena BK dianggap sebagai satu komponen yang bisa dengan mudahnya untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi peserta didik. Keadaan tersebut juga menjadi penghambat kenapa perkembangan BK di sekolah menjadi tidak maksimal.
e)    BK sebagai konselor harus aktif pihak lain pasif. BK memang memegang fungsi sebagai konselor terhadap permasalahan peserta didik. Namun, dia tidak bekerja sendirian atau aktif tanpa ada dukungan dari guru lain. bisa jadi BK ini tematik dengan seluruh guru mata pelajaran yang ada di sekolah, karena juga memperkuat monitoring dan pengawasan perilaku peserta didik yang ada di sekolah dan juga orang tua apabila si peserta didik tersebut berada di rumah.
f)    BK boleh untuk semua guru. Fenomena tersebut terjadi di beberapa sekolah menengah pertama dan atas yang kondisi sekolah tersebut kekurangan sumber daya manusia, sehingga keterbatasan akan guru menjadi hal yang wajar dan tidak dapat ditolerir kenyataan nya. Sehingga jelas kegiatan konseling yang ada di sekolah tidak berjalan maksimal, dikarenakan keilmuan yang dimiliki guru bk tidak menjamin kesembuhan akan “penyakit” yang ditimbulkan oleh peserta didik yang ada disekolah.
g)     BK berpusat pada keluhan pertama. Banyak terjadi di beberapa sekolah memaknai konseling hanya disaat mereka sudah memberikan keluhan pertama dan berhenti, seolah-olah mendapatkan pencerahan dari hal tersebut. Padahal tidak, asas kontinuitas dalam Bimbingan dan konseling menjadi perlu untuk dilaksanakan dikarenakan bisa memonitoring dan sebagai bahan untuk mengarahkan siswa pada hal yang diharapkan.

1.      Bagaimana saudara memandang permasalahan Profesi Bimbingan dan Konseling di atas jika dikaitkan dengan konsep profesi bimbingan dan konseling serta bagaimana pemecahan masalahnya? (di dukung oleh rujukan)


2015 Guru Harus Sarjana: Ideal tapi Belum Realistis!
Sebagai sebuah langkah untuk menegakkan Undang-undang nomor 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen, langkah Kemendikbud untuk ‘membekukan’ (dikantorkan) semua guru yang belum berijazah sarjana patut diapresiasi.
Akan tetapi, jangan sampai keputusan ini langsung diberlakukan secara serentak baik di daerah perkotaan maupun di pedesaan. Aturan ini harus ditegakan, tetapi tetap mempertimbangan sikon suatu wilayah. Mengapa dikatakan demikian?
Pertama, fakta di lapangan mengatakan bahwa tidak semua guru di pedalaman bergelar sarjana. Situasi sekolah-sekolah di pedalaman Kalbar dan Flores (dua tempat saya pernah bertugas) menunjukkan realitas kekuarangan guru. Sudah kekurangan guru, sekolah-sekolah tersebut tidak banyak memiliki guru-guru bergelar sarjana. Kalau pun ada bisa saja hanya satu orang yang bergelar sarjana yakni Kepala Sekolahnya saja. Sedangkan yang lainnya, adalah para guru tamatan SPG zaman dahulu dan D3 penyetaraan karena dipaksa.
Ada banyak guru yang memang mengatakan tidak mau mengikuti program penyetaraan S1 karena mengingat masa pensiun mereka berkisar tahun 2016-2020. Guru-guru ini memang merasa sudah terlalu tua untuk belajar lagi. Mereka memang memilih pasrah apabila memang benar-benar ‘dibekukan.’
Bisa dibayangkan bahwa jumlah guru di sekolah-sekolah pedalaman yang pada dasarnya sedikit, masih harus dipangkas lagi oleh karena tidak semuanya bergelar S1. Bisakah seorang kepala sekolah mengajar dari kelas 1 sampai kelas 6 sendirian?
Kedua, apakah gelar sarjana telah menjamin bahwa kualitas  SDM dan dedikasi mereka terhadap pendidikan yang holistik terhadap murid lebih dibandingkan guru-guru tua yang hanya tamatan SPG dan yang hanya sanggup mengikuti penyetaraan sampai D3? Belum tentu. Fakta di lapangan membuktikan bahwa jusrtu guru-guru muda zaman sekarang dengan sederetan gelar, dedikasinya bagi dunia pendidikan kalah dibandingkan guru-guru senior yang terancam dibekukan mendikbud. Bagi guru-guru senior, gelar hanyalah formalitas karena mereka sudah biasa menghadapi para murid alias telah lebih berpengalaman dalam hal bukan sekedar menjadi pengajar tetapi sebagai seorang pendidik.
Soal dedikasi? Jangan ditanya lagi. Dedikasi guru-guru senior yang tidak bergelar sarjana jauh lebih baik daripada guru-guru bergelar sarjana yang baru diangkat menjadi PNS belakangan ini. Mengapa?
Belakangan ini sepertinya telah terjadi perubahan orientasi/motivasi memilih ‘profesi sebagai guru’ di kalangan kaum muda dewasa ini. Bukan untuk mengabdi di dunia pendidikan (pahlawan tanpa tanda jasa), tetapi demi peluang kerja saja! Makanya dedikasinya terhadap dunia pendidikan sekedar memenuhi ‘jam mengajar’ yang ditetapkan dan di lingkungan sekolah saja!
Tanggung jawab moral terhadap para murid di luar lingkungan sekolah hanya masih kita jumpai dalam diri guru-guru senior yang memang telah menjadi panutan masyarakat pedalaman/pedesaan meskipun mereka tidak bergelar sarjana.
Oleh karena itu, keputusan Mendikbud untuk segera menegakkan Undang-undang memang tepat, tetapi harus tetap mempertimbangkan sikon setiap daerah terutama sekolah-sekolah yang masih langka guru-guru bergelar sarjana terutama di wilayah pedalaman/perbatasan.
(sumber: http://edukasi.kompasiana.com/2013/07/31/2015-guru-harus-sarjana-ideal-tapi-belum-realistis-580797.html)

2.      Bagaimana pandangan saudara terhadap permasalahan di lapangan di atas, kaitkan dengan konsep ranah pengembangan profesi guru? Cari solusi permasalahannya yang disertai dengan rujukan pendukung!
3.      Ungkapkan pendapat saudara tentang konsep keprofesian bidang kekepalahsekolahan dan kaitkan dengan kondisi yang di temui di lapangan!
4.      Bagaimanakah supervisi sekolah yang ideal? Bagaimana sikap saudara ketika melihat kondisi di lapangan? Jelaskan?
5.      Bagaimana kondisi supervisi pembelajaran di lapangan yang saudara temui? Kaitkan dengan konsep ideal supervisi pembelajaran serta temukan solusi pemecahan masalahnya!


Deadline Kamis 15 January 2015 pukul 15.00



-GOOD LUCK-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar