Kekuatan
Karya Sastra dan Rekonstruksi Perubahan Masyarakat Jombang
Oleh
Aang Fatihul Islam)*
(Diterbitkan di Jurnal
Jombangana kolom Essai Sastra Dekajo Komite Sastra Edisi ke-2)
Karya sastra
merupakan letupan puing-puing mahakarya yang dieksekusi lewat suara-suara masyarakat.
Barangkali itu merupakan ungkapan yang tepat untuk mengapresiasi kekaguman saya
pada karya sastra. Ketika banyak digembor-gemborkan istilah agen perubahan
(agen of change) di tengah-tengah
Mahasiswa dari zaman orde lama hingga kini, maka saya disini ingin
menguak sebuah agen of change yang berkaitan dengan karya sastra. Seringkali
karya sastra dianggap sesuatu yang fiksi belaka dan apa yang dituangkan di
dalamnya adalah hanya bualan sang pengarang saja. Benarkah karya sastra hanya
berfungsi sebagai hiburan semata? Ada yang mengatakan karya sastra merupakan
reportase realitas masyarakat yang dituangkan dalam keindahan kata-kata. Karya
sastra adalah mediasi antara fakta dan fiksionalitas. Maka adakah keterkaitan
antara karya sastra dengan perubahan masyarakat?
Ada beberapa literatur yang bisa kita pakai sebuah
acuan bahwa memang karya sastra ada keterkaiatannya dengan kehidupan masyarakat
antara lain; De Bonald dalam Buku
“Theory of Literature” (1949:110) mengatakan bahwa sastra adalah ungkapan
perasaan masyarakat (literature is an expression of society) maka karya sastra
adalah merupakan luapan hati masyarakat yang terwakili lewat rajutan sebuah
tulisan. Begitu juga Hegel dan Taine
(1949: 111) mengatakan bahwa kebesaran sejarah identik dengan kehebatan
artistik melalui karya sastranya, sastrawan menyampaikan kebenaran sejarah dan
kebenaran sosial, karya sastra merupakan dokumen (sejarah) dan karena itu,
merupakan menumen (documents because they
are monuments).
Ada tiga hal yang bisa juga dijadikan acuan antara keterkaitan
karya sastra dengan masyarakat ini berkaitan dengan hubungan deskriptif (bukan
normative) antara sastra dan masyarakat, antara lain: pertama: sosiologi
pengarang, profesi pengarang, institusi sastra (Status pengarang dan ideologi
pengarang yang terlihat dari berbagai kegiatan pengarang di luar karya sastra),
kedua: isi karya sastra, tujuan karya sastra, hal-hal lain yang tersirat dalam
karya sastra dan berkaitan dengan masalah sosial, ketiga: persoalan pembaca dan
dampak sosial karya sastra. atau secara sederhana intinya tiga butir di atas:
sosiologi pengarang, isi karya sastra yang bersifat sosial, dan dampak sastra
terhadap masyarakat.
Dalam keterkaitan karya sastra dengan realitas
masyarakat, salah satu kritikus sastra Indonesia, H.B Jassin pernah
menyampaikan kerinduhannya pada karya sastra Indonesia: “ Bagi para pengarang sungguh masih banyak daerah yang belum dijelajah.
Untuk menyebutkan beberapa contoh; kehidupan penyelam mutiara di sebelah timur
kepulauan kita, kehidupan di tambang-tambang minyak dan batu bara, kehidupan
suku bangsa yang terpencil jauh di pedalaman seperti pegunungan Kalimantan,
kehidupan para nelayan mencari nafkah di tengah laut, alam dunia juru terbang
yang kini mengarungi udara kita, kita tidak kehabisan bahan dan persoalan”.
Demikian uraian H.B Jassin seperti yang dikutip A.A Navis dalam majalah sastra
dan budaya Horison Edisi Januari 1994, halaman 9.
Karya sastra adalah realitas bumi dan masyarakat
yang direkam dan dirajut dalam keindahan bahasa. Maka dalam memasukkan
nilai-nilai di dalamnya pengarang punya jurus jitu dalam memikat para pembaca
untuk membaca dan secara tidak langsung misi pengarang akan merasuk dalam otak
para pembaca. Di sini pembaca akan melakukan pengembaraan wacana terhadap karya
sastra, yang pada akhirnya mereka terinfeksi virus-virus wacana dan sedikit
demi sedikit mereka akan banyak melihat realitas lewat keindahan bahasa karya
sastra. Inilah bedanya karya sastra dengan liputan berita yang dalam
penyuguhannya terkesan lugas dan formal . tapi karya sastra menyuguhkan
gambaran realitas lewat rajutan kata yang begitu indah, sehinggah disamping
terhibur pembaca juga akan mendapatkan banyak nilai dan pesan di dalamnya.
Menurut Budi Darma para sastrawan dalam menuliskan
karyanya punya dua hal, yaitu Worldview
(pandangan terhadap dunia) dan Weltanschauung
(misi/tujuan merombak masyarakat) Maka para para penggiat sastra dapat berperan
disini yaitu menuangkan kegelisahannya dan misinya lewat karya sastra.
Sebagaimana Pramudya Ananta Toer yang menuliskan kegelisahannya dan menuliskan
misinya lewat Novelnya “Bumi dan
Manusia”, Jejak Langka, Anak Semua Bangsa, dan Rumah Kaca, W.S. Rendra menyuarakan kegelisahannya dan misinya
yang meledak-ledak lewat puisi-puisinya, misalnya “Sajak Sebatang Lisong”, dan
“Yang Muda yang Bercinta”, N.H Dini menyuarakan kegelisahannya dan misinya
lewat novelmnya “Salah Asuhan”, Budi
Darma menyuarakan kegelisahan dan misinya lewat novelnya “ Olenka”, Bustan Maras Mandar menyuarakan kegelisahannya misinya
lewat cerpennya “Ziarah Mandar” , para sastrawan Jombang seperti Emha Ainun
Nadjib,Fahrudin Nasrulloh, Sabrank Suparno, M.S. Nugroho dan lain-lain yang
mulai bermunculan di Jombang telah melukisakan realitas lewat
karya-karyanya yang indah . Itulah manifesatasi dari para sastrawan yang
menjadi obor penerang bagi bumi yang mulai gelap pekat ini. Karya mereka mampu
menjadi percikan-percikan kecil yang merayap dan menjadi kekuatan besar dalam
merubah paradigma dan perilaku masyarakat.
Ada banyak hal yang bisa kita dapatkan dalam
silaturrahmi wacana secara tidak langsung
dengan pengarangnya (meminjam bahasa Lang Fang). Misalnya di dalam
novel-novelnya Parmudya Ananta Toer “Gadis Pantai” kita bisa menemukan banyak
nilai budaya, “Bumi Manusia, Jejak Langkah, Anak Semua Bangsa, Rumah Kaca kita
bisa menemukan gambaran situasi politik, nilai sejarah, dan rekaman realisme soial. Novelnya Lang
Fang misalnya “Ciuman di Bawah Hujan,
Perempuan Kembang Jepun” kita bisa temukan pesan politik, budaya, dan gender. Budi
Darma dalam “Olenka, Orang-Orang Blomington, Rafilus, Solilokui, Harmonium dan
lain-lain” kita bisa juga temukan nilai realsime
sosial, budaya, nilai moral, psikologi. Novel Andrea Hirata di dalam “Tetralogi
Laskar Pelangi” kita bisa temukan nilai budaya, pesan moral, realisme sosial
dan semangat hidup dalam menggapai mimpi-mimpinya. Sekarang kita coba merambah
pada para sastrawan asal Jombang yang sedang menngeliat karya-karya mereka
kebanyakan adalah memberikan gambaran realitas masyarakat Jombang yang berisi banyak pesan baik budaya, moral,
realisme sosial, dan sebagainya baik yang tertuang lewat Novel, cerpen mau pun
puisi. Ini sebenarnya adalah embrio kekuatan-kekuatan dahsyat yang mampu
merekonstruksi perubahan masyarakat Jombang.
Lewat karya-karya sastra selain pembaca terhibur dan
medapatkan manfaat dari apa yang dibacanya (ulce
de at utile), mereka juga secara
tidak langsung akan mengenyam nilai dan pesan yang ada di dalam karya
sastra tersebut. Karena bagaimanapun juga di dalam karya sastra ada banyak nilai
misalnya nilai budaya, ajaran moral, falsafah kehidupan, sejarah, psikologi,
realism sosial dan sebagainya yang kesemuanya itu tercermin dalam karya sastra
atau sering di sebut sebagai mimesis. Mimesis merupakan realita yang ada di
masyarakat yang tercermin dalam karya sastra. Mimesis ini dapat kita temui pada
buku “Tentang Sastra” karya Lexemburg (1991: 15). Mimesis mulai ada sejak zaman
filsuf Plato dan muridnya Aristoteles. Nilai-nilai yang merupakan cerminan dari
realita (memesis) inilah yang kemudian diramu dengan indah oleh pengarang dalam
sebuah pertemuan antara realitas dengan fiksionalitas, maka jadilah karya
sastra.
Warren (1949: 14) menguraikan bahwa Salah satu
batasan “sastra” adalah segala sesuatu yang tertulis atau tercetak.
“literature” berasal dari kata Latin litera/huruf)
seharusnya sastra lisan juga termasuk sastra, tapi karena sudah sejak lama
sastra lisan di Barat ditulis menjadi sastra cetak, maka pandangan Barat
mengenai “sastra” berbeda dengan pandangan kita/karena kebanyakan sastra lisan
kita belum dicetak. Sastra lisan di Barat sudah banyak yang dicetak atau
disadur, seperti misalnya Romeo dan
Juliet karya Shakespeare adalah saduran dari sastra lisan Itali, dan Doctor Faustus karya Goethe adalah
saduran dari sastra lisan Jerman.
Karena sastra adalah sesuatu yang tertulis atau
tercetak, maka semua hal yang tertulis dan tercetak dapat juga menjadi objek
ilmu-ilmu lain, sepanjang ilmu-ilmu itu juga sudah ditulis atau dicetak.
Ilmuwan sastra dapat mempelajari “profesi kedokteran. Pada abad ke-14,”
“gerakan planet di Abad Pertengahan,” atau “Ilmu sihir di Inggris dan New
England.” Ilmuwan sastra “tidak terbatas pada belles letters”, dan karena itu kerja ilmuwan sastra harus dilihat
dari “sumbangannya pada sejarah kebudayaan.” Hal ini dapat juga dilihat dari
tokoh Rusia misalnya, Churcil yang pidatonya indah dan mampu menginspirasi para
serdadu untuk bangkit melawan musuh, begitu juga Betran Russel, seorang Filsuf
dan ahli matematika, essa-essainya indah dan tidak pernah menulis fiksi. Akan
tetapi keduanya telah mendapatkan nobel sastrawan dunia.
Menurut Greenlaw, studi sastra bukan hanya berkaitan
erat, tapi identik dengan sejarah kebudayaan. Warren (1949:12) menambahkan
bahwa kalau Greenlaw benar, maka “studi sastra” menjadi kabur, karena studi
sastra adalah sebuah studi khusus dengan metode-metodenya sendiri yang tidak
sama dengan metode-metode cabang-cabang ilmn pengetahuan lain. Buku-buku
sejarah, filsafat, atau ilmu pengetahuan lain sebetulnya bukan karya sastra,
tapi ada juga buku-buku itu yang “karya yang berniali sastra,” tapi bukan karya
sastra. Memang banyak sejarawan sastra memasukkan karya-karya ahli filsafat,
sejarawan, ahli teologi dan moral, politikus dan ilmuwan dalam pembahasan,
karena sastra pada hakikatnya adalah dunia pemikiran, dan cabang-cabang ilmu
lain adalah juga dunia pemikiran.
Kalau Budi Darma menggambarkan Olenka dalam novelnya
seperti Peta, maka karya sastra adalah peta heterogenitas realiatas masyarakat.
Kita bisa melihat sudut-sudut fenomena sosial, sejarah dan budaya dalam karya
sastra. Ada sebuah analogi yang bisa dijadikan motivator kita dalam
mengapresiasi karya sastra. Di barat banyak tokoh-tokoh yang berlatar belakang
non -sastra akan tetapi pada akhirnya menjadi sastrawan karena berawal dari
membaca karya sastra. Tokoh-tkoh itu antara lain Claude Levir Straus (bidang
studi antropologi), Roland Barthes (bidang studyi sastra), Michael Faoucault (bidang
studi Sejarah), Jacques Lacan (bidang studi Psikiater), Sigmund Freud (Ahli
Kedokteran) dan sebagainya. Walaupun
kebanyakan dari mereka berasal dari latar belakang non-sastra akan tetapi pada
akhirnya mereka menjadi sastrawan yang hebat-hebat dengan mengembangkan latar
belakang mereka lewat karya sastra, sehingga di dalam karya sastra akan ada
nilai antropologi, sejarah, psikologi, kesehatan dan sebagainya. Sigmund Freud
bisa menciptakan treori psikoanalitik karena membaca karya sastra yang berisi
psikologi, di sanalah Sigmund Freud mempelajari psikologi masyarakat dan
tercipalah teori psikoanalitik. Begitu juga tokoh-tokoh yang lain juga
mendapatkan sesuatu yang baru dari membaca karya sastra.
Hipotes penulis kalau para politikus, pemerintah,
sejarawan, budayawan, dokter, guru, mahasiswa, karyawan, tukang becak dan kaum
miskin kota dan bagian dari masyarakat lainnya yang ada di belahan bumi Jombang
mau membaca karya sastra maka mereka akan kaya dengan nilai yang di dapatkan
dalam karya sastra. Mereka akan mampu menembus keburaman akan realitas yang
selama ini mengungkung mereka. Dengan membaca karya sastra sedikit demi sedikit
paradigma dan kesadaran mereka akan realita akan terbuka. Ketika tabir yang
selama ini menutupi mata hai mereka maka akan terjadi balancing antara elemen
satu dengan yang lainnya. Inilah yang kemudian dinamakan dengan perubahan
masyarakat. Karena sebenarnya sastrawan itu direkonstruksi oleh lingkungan dan
masyarakatnya, kemudian masyarakat sendiri direkonstruksi oleh sastrawan lewat
karya-karyanya.
Penulis percaya bahwa di dalam rajutan kata-kata ada
sebuah kekuatan dahsyat yang mampu menggerakkan siapa saja yang membacanya.
Sebagaimana rajutan kata-kata indah ayat-ayat suci Al-Qur’an di dalamnya mempunyai kekuatan yang luar biasa. Rajutan
kata-kata dalam karya sastra pun tidak lepas dari manifestasi uraian keindahan
ayat Al-Qur’an dalam konteks Islam, di dalamnya juga di selipkan suara gress
root (arus bawah), yang oleh Pram di gambarkan lewat bukunya Realisme Sosial
(2003: 34) yang mana dalam karya sastra ada upaya dalam memperjuangkan kelas
Proletar (raykat bawah/kaum tertindas). Sebagaimana yang terdapat di dalam
penggalan Surat Al-Ashr ayat (1) “ Wal
Ashri Innal Insana Lafi Khusrin Illal Ladzina Amanu Wa’amilus Sholihati”
yang berarti bahwa sesuangguhnya manusia telah benar-benar dalam keadaan
merugi, kecuali orang yang beriman dan juga beramal sholeh. Saya ingin
menggaris bawahi kata “Wa’amilush
Sholihati” (beramal sholeh), yang bisa diartikan memperjuangkan kaum
tertindas. Jadi di dalam beramal sholeh harus senantiasa memihak kaum tertindas
dan memperjuangkan keadilan.
Dari pemaparan di atas, dapat diketahui bahwa bukan
hanya para cendekiawan, aktivis dan intelektual saja yang dapat melakukan
perubahan terhadap masyarakat, akan tetapi para sastrawan lewat ketajaman hati
dan kecerdasan berfikir (meminjam Bahasa Prof. Febiola D. Kurnia) juga telah
memberikan sumbangsih pemikiran yang cukup signifikan lewat karya sastra dalam
melakukan perubahan terhadap masyarakat. Di sini yang perlu di garis bawahi
adalah realitas masyarakat terekam secara rapi dalam karya sastra. Jadi karya
satra telah mampu mempersuasi masyarakat untuk melihat realitas secara
bijaksana tidak hanya pada kulit luarnya. Berapa persen kadar persuasi tersebut
adalah tidak lepas dari seberapa kuat sinyal gelombang membaca yang mampu
pembaca tangkap di dalam karya sastra tersebut. Semoga karya sastra yang mulai
bertebaran di Jombang pada khususnya dan
di belahan bumi pada umumnya mampu memberikan sumbangsih pemikiran yang
signifakan dalam merekonstruksi perubahan
paradigma masyarakat yang primitif di zaman moden ini. Amin.
Penulis adalah aktifis Komunitas Lembah Pena “Endhut
Ireng” Jombang*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar