Ngidam
Oleh
Aang Fatihul Islam)*
(Diterbitkan di Kumcer “Hujan Sunyi Banaspati” Sehimpun Cerpenis
Jombang)
Ribuan butiran
air hujan menetes dari langit, pepohonan mengayun-ayunkan ranting-rantingnya.
Dedaunan dan bebatuan menengadah ke atas langit
bermunajat pada Sang Pencipta atas apa yang telah terjadi di belahan
bumi ini. Lekukan bumi mengendap-endap dalam fatamurgana yang teretas
percikan-percikan api neraka yang merayap lewat desiran udara yang begitu
menyengat. Burung-burung berkicau riuh dan nampak sumbang tidak seindah dulu
lagi seakan ada perubahan atmosfir yang memekikkan kehidupan mereka. Alam
seakan muak dengan hiruk pikuk yang melilit bumi dalam keangkuhan dan
ketidaksenonohan yang terus terjadi dan terjadi. Desahan alam sudah tidak
seindah dulu lagi, kamuflase demi kamuflase telah menutupi keindahan mereka
dalam debu-debu kemunafikan dan kecongkakan. Kala itu eksotisme alam seakan
hilang dan beruba menjadi nuansa duka.
Aku melihat para
dalang memainkan perannya dan banyak wayang yang berparaskan Rahwana mempunyai misi untuk menculik
keindahan alam yang kian hari kian redup. Keindahan suatu nilai seakan sudah
tergantikan dengan uang. Idealisme kerap menjadi hilang tatkala uang
bergelimpangan di mata. Sublimasi kehidupan yang kian pelik terkapar dalam bayang-bayang
warna-warni pelangi kehidupan yang warna aslinya sudah pudar. Sang Semar pun tiba-tiba menghilang dan keberadaanya tergantikan oleh
para dewa yang suka berperilaku dholim pada para rakyat jelata. Tidak ada lagi
dinamisasi di belahan bumi tatkala pemegang pengendali sudah tiada. Nilai-nilai
yang diajarkan sang semar mulai redup dan butuh sepercik cahaya yang mampu
menuntunnya ke jalan yang indah.
Suara-suara
keadilan kerap keluar dari para sosok yang idealis akan tetapi suara-suara itu
terdengar hampar dan klise. Tersimpan kebohongan di balik suara-suara itu. Aku
berada di tengah-tengah sumber suara-suara itu berasal. Sekonyong-konyong ada
suara kecil keluar dari salah satu gerombolan para demonstran itu. “Kalau saja tidak di kasih uang aku tidak mau
berteriak-teriak dan berpanas-panasan di nawah terik matahari seperti ini.
Biarlah kita terlihat sok idealis yang penting kita dapat uang hahaha, celoteh
salah satu dari mereka. Rakyat kecil saja tidak mau mencoblos ketika ada
pemilihan wakil rakyat tanpa adanya uang apalagi kita hahaha”.
Siang itu
berlalu dan berganti menjadi petang. Kala itu mendung hitam pekat diiringi
letupan-letupan cahaya halilintar dan suara ledakan petir yang menyambar
bagaikan cemeti raksasa yang disabetkan di atas awang-awang. Seliweran
masyarakat Jambangan berlalu lalang
mencari kebutuhan mereka sehari-hari. Yanto berjalan menuju pelataran halaman
rumah Pak Kasdi dengan menggunakan payung dari kulit pohon pisang.
“Tok…tok….tok…Pak
Kasdi….?”
“ya silahkan masuk To
(jawab Pak Kasdi)
“ ada yang bisa saya
bantu To? (Tanya Pak Kasdi)
“begini Pak istri saya
hamil dan ngidam ingin pisang raja apa Bapak ada?”
(jawab Yanto). “Oh ya ada To”, “ngomong-ngomong
soal ngidam aku juga lagi ngidam To”
(kata Pak Kasdi dengan nada agak nyengir)
“Pak Kasdi ngidam apa?” (Tanya Yanto)
“aku ngidam ingin jadi
orang kaya apakah kamu bisa bantu?”
(sambil berfikir Anto lantas berkata)
“bisa Pak tapi Bapak
harus mau korupsi hehe”
“apa itu korupsi To?”
(Tanya Pak Kasdi)
“Korupsi itu memakan
barang yang bukan haknya”.
“Oh itu ma
gampang sudah setiap hari aku memakan barang yang bukan menjadi hakku hahaha”
(sambil ketawa cengengesan).
Selang beberapa
waktu Yanto minta pamit pada Pak Kasdi dan ingin menindak lanjuti keinginan Pak
Kasdi dan juga keinginan Yanto yang sama-sama juga ngidam pingin jadi orang
kaya. Hari berikutnya Yanto dan Pak Kasdi bersepakat untuk membikin usaha dan
berjualan di “Pasar Korupmaju”.
Mereka meminjam modal dari “Bank
Sukurjadi”. Mereka meminjam uang sebanyak lima juta untuk modal awal dan
supaya usaha mereka cepat berhasil mereka melakukan berbagai cara untuk
mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya misalnya dengan melakukan ketidak
jujuran dan penipuan.
“To beras ini supaya
kita dapat keuntungan yang banyak dalam waktu singkat kita apakan ya?
(Tanya Pak Kasdi)
“ gampang Pak kita
masukin aja batu di dalamnya agar timbangannya bertambah berat, mantap kan ide
saya?
“ oh ya pintar juga
kamu To, tidak salah aku memilih kamu menjadi partnerku hahaha”.
Tapi lagi-lagi
penyakit ngidam turun temurun dari rakyat kecil seperti Yanto dan Kasdi yang
ngidam ingi jadi orang kaya dengan melakukan ketidak jujuran. Penyakit ngidam
pun juga merambah pada Aparat Desa Ngawursari.
Ini terlihat ketika Yanto dan Kasdi minta surat keterangan penghasilan dan
surat keterangan penduduk Aparat Desa
dengan nyantainya ia ngomong pada mereka berdua.
“Kalau kalian ngidam
pingin jadi orang kaya aku pun juga sama haha. Maka supaya penyakit ngidam kita
berimbang maka kamu harus membayar sejumlah uang buat sumbangan pribadi dompet
saya haha.”
“Baiklah Pak kita juga
ngerti kok, tali raffia tali sepatu, sesama mafia harus bersatu ha..ha..ha…”.(jawab
Yanto dan Kasdi cengengesan)
Keesokan harinya
Yanto dan Kasdi berangkat ke pasar dan melanjutkan kemafiaannya dengan korupsi
kecil-kecilan bahasa orang kecilnya. Hari demi hari berlalu,Yanto dan Kasdi
menjadi saudagar kaya raya dan kebiasaannya makin menjadi-jadi. Setelah mereka
kaya mereka pun ngidam lagi pingin menjadi orang atas. Yanto ingin jadi kepala
Desa sedangkan kasdi ingin jadi Caleg. Keduanya pun melakukan aksinya lagi
dengan memberikan sejumlah uang sogokan pada masyarakat agar mereka dipilih. Ya
hari gini masyarakat sudah semakin tidak percaya lagi terhadap wakil rakyat.
Yang dipilih ya yang ngasih uang bukan yang Cuma modal kepercayaan, sudah tidak
zamannya lagi.
Setelah kurang
lebih dua minggu pemilihan pun dilaksanakan baik pemilihan Kades maupun
pemilihan Caleg walaupun waktunya tidak sama. Tim sukses pun melancarkan aksinya
untuk melakukan advokasi terhadap rakyat
kecil yang tidak mengerti apa-apa. Rakyat kecil pun tergiur dengan serbuan
uang-uang yang diberikan pada mereka dengan bermodal uang hasil korupsi
kecil-kecilan yang waktu demi waktu menjadi modal untuk dapat melakukan korupsi
gede-gedehan. Entah ngidam apa lagi yang ada dalam otak mereka berdua? Apakah
ngidam yang lebih besar lagi yaitu ingin menjadi orang kaya dengan cara yang
lebih professional dengan cara mengeruk uang rakyat setelah mereka jadi wakil
rakyat.
“Ya untuk jadi wakil
rakyat harus mengeluarkan banyak uang. Jadi wakil rakyat tidak bisa dengan modal dengkul jadi ketika jadi wakil rakyat
minimal kembali modal lah, ha…ha…ha…”.
(Itulah celoteh mereka ketika berbincang satu sama lain).
Langit senja
nampak kebiruan dengan mega mendung mengapung di bawahnya, melayang-layang di
angkasa seperti penggambaran kayangan yang ada dalam cerita dewa-dewa. Aku
begitu resah dalam suasana yang tidak karuan. Pandanganku terasa begitu gelap
dikelilingi hawa panas mengendap-endap dalam atmosfer udara. Aku memberanikan
diri secara diam-diam berkelilinhg desa sambil melihat situasi perkembangan
politik pemilihan Kades dan juga pemilihan Caleg. Lagi-lagi situasi janggal
yang ia temui. Nampak para pengidam jabatan sedang memperjual belikan
kekuasaan. Demi kekuasaan dan kedudukan mereka rela mengeluarkan banyak modal
untuk mengeruk modal lebih banyak lagi dari rakyat. “Ya itulah penyakit lama para pemimpin kita dari masa ke masa terus
di warisi ehm…..” (gerutu hati Slam jengkel).
Setelah
pemilihan usai akhirnya Pak Yanto dan Pak Kasdi jadi wakil rakyat juga dan
mereka merayakan kekuasaannya dengan mengundang penyanyi dangdut terkenal, pesta
pun di gelar di depan rumah sambil mabuk-mabukan. Mereka merasa sukses ngidam
menjadi orang kaya yang lebih professional. Bedanya kalau dulu ngidamnya ingin
jadi kaya dengan korupsi kecil-kecilan, tapi sekarang bisa korupsi gede-gedehan.
Sunnguh pucuk dicita ulam tiba, apa yang mereka inginkan telah terkabul. Mereka
merasa puas dengan semua itu. Aku semakin merasa gusar ketika melihat para pemimpin di negeri
ini berperilaku seperti para cukong yang mengangkang dan memanfaatkan rakyat
kecil yang tidak mengerti realita politik yang begitu kejam dan hitam pekat.
Yang menyedihkan
lagi diantara para calon wakil rakyat yang tidak terpilih banyak yang stress,
ada yang gila mendadak dengan mencopot pakaian sambil berteriak, ada yang
meluapkan kekecewaan mereka pada kenyataan dengan mabuk-mabukan. “Beginikah mentalitas dan moral para
pemimpin kita? Sungguh menyebalkan” (gerutuku). Aku pun muak dengan
realitas yang begitu buram dan penuh dengan ketidak jelasan. Para penghuni
langit lebih suka mencipratkan nanah dan darah ke bumi daripada hujan. Padahal
penghuni bumi kekeringan. Yang mereka butuhkan saat ini bukan nanah dan darah
tapi siraman air hujan.
Bulan berikutnya
Aku berjalan lagi menelusuri kota Subahaya
menyaksikan pemilihan Caleg, Wali kota dan juga pemilihan Gubernur setahap demi
setahap. Ia perhatikan gerak gerik mereka dari kejauhan tapi nyatanya tidak ada
bedanya. Orang-orang yang idealis ketika sudah masuk dalam rantai politik maka
idealisme itu akan tergerus arus dan hilang.
“Itulah politik kita ketika sudah masuk dalam lingkaran politik maka mau tidak
mau harus tunduk pada sistem lama yang sudah mengepidemi kuat atau dibuang dari
peredaran. Entah sampai kapan rantai itu dapat di putus untuk mendapatkan
rantai baru lewat revolusi” (Hati Slam berbisik tajam).
Keindahan
idealisme yang bergema di atas awang-awang tiba-tiba dilululantahkan oleh
rantai emas raksasa yang berjalan bersama sistem politik yang begitu kuat.
Dinding-dinding pertahanan idealisme
runtuh begitu saja tergilas arus. Penyakit ngidam yang mengepidemi kuat secara
turun temurun dari dulu sampai sekarang pun menjadi salah satu kekuatan dahsyat
yang membantu rantai itu untuk memusnakan keindaan-keindahan itu. Logika pun
sudah tergadaikan dengan sistem yang membungkam dalam sangkar emas.
Burung-burung sudah enggan keluar dari sangkar emasnya. Karena mereka merasa
akan makan apa ketika keluar dari sangkar emas yang di sana mendapatkan
fasilitas yang memadai walau pun tidak bebas berfikir.
Sang
juragan berkata “wahai burung-burungku
keluarlah kalian dari sangkar emas ini, dapatkan kebebasan di alam bebas sana”,
Jawab
para burung-burung “jangan tuan kita
tidak mau dilepaskan dari sangkar emas ini, lalu kami makan apa di luar sana,
banyak binatang buas yang mengincar kami, kami juga takut dengan hembusan badai
yang kerap datang dalam kegelapan”.
Tuan
itu kembali berkata “di luar sana kamu
akan mendapatkan kebebasan sebebas-bebasnya, maka keluarlah kalian mumpung aku
belum berubah pikiran”.
Burung-burung
itu pun menjawab “Tidak tuan kami lebih
suka di dalam sangkar ini, walau pun kami tidak mendapatkan kebebasan yang
sesungguhnya, namun fasilitas yng tuan berikan untuk kami.”
Kita lebih
senang menjadi burung-burung yang berada di dalam sangkar yang terbuat dari
emas. Walau pun terbuat dari emas akan tetapi itu tetap sangkar yang
memenjarakan kebebasan kita. Tapi kebanyakan dari kita lebih memilih sangkar
emas itu yang penting tetap bisa makan. Yang terpenting bukanlah kebebasan akan
tetapi yang bisa menjamin kita untuk makan. Sebuah analogi yang begitu nista
tatkala itu bertabrakan dengan alam pikiran kita. Apaka otak yang diberikan
Tuhan kepada kita sudah menjadi aksesoris saja ketika realitas bergelimpangan
di mana-mana. Ketika realitas tidak sehat ada di sekitar kita. Ketika para
penghuni langit berkata “kami punya
maksud baik”, maka kita pun harus bertanya “maksud baik tuan untuk siapa?”
Penyakit ngidam
sudah mendarah daging mulai dari kelas bawah sampai pada kelas atas. Penyakit
ngidam akan terus berjalan dan begitu kuat dikala varian-variannya masih terus
lahir dan beranak pinang begitu menjamur. Putaran roda penyakit ngidam yang
tidak fair akan terus ada dan sampai kapan itu terjadi semuanya tergantung pada
manusia yang menghuni penggalan surga ini. Penggalan surga yang telah tidak
kita syukuri keberadaannya sebagai suatu anugerah Tuhan yang sangat bernilai
harganya.
Dalam
kesendirian tiba-tiba aku mendengar seliweran orang berlalu lalang sambil
tertawa berkata “siapa yang ngidam bisa
lihat brosur ini. Kita belajar bersama untuk melestarikan ngidam. Kita belajar
bersama untuk menjadikan ngidam sebagai kepercayaan kita. Kita jadikan ngidam
sebagai sumber pengidupan kita. Ngidam……ngidam…..ngidam….., beli satu dapat
seribu manfaat hahaha.” Aku pun lari sekencang-kencangnya menuju tengah
hutan untuk menghindari suara yang menyebalkan itu.
Jombang,
04 September 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar