Gus Dur dan ‘cah angon’ dalam tembang ‘Ilir-ilir’
Oleh
Aang
Fatihul Islam
(di
muat di DUTA MASYARAKAT, 30 Maret
2010)
Belum lama saya
melakukan kajian terhadap tembang “Ilir-Ilir”. Tembang ini diciptakan sudah
sangat lama, sekitar lima abad silam. Ada beberapa pendapat mengenai pencipta
tembang ini. Ada yang menyebut Kanjeng Sunan Ampel dan Sunan Giri. Ada pula
yang menyatakan tembang itu buah karya Sunan Kalijogo. Mayoritas lebih
cenderung pada Kanjeng Sunan Kalijogo, melihat kedekatannya pada adat dan
budaya Jawa.
Tembang ini
selalu menarik dikaji karena deretan syair-syairnya menyimpan falsafah
kehidupan yang begitu dalam dan luas. Masih terngiang di telinga saya ketika
budayawan Emha Ainun Nadjib mencoba mem-break down syair-syair tersebut dalam
berbagai sudut pandang. Sebuah upaya yang patut kita apresiasi, mengingat satu
tembang tidak cukup ditafsirkan dalam beribu-ribu jilid buku dan berates-ratus
tahun.
Ya, beragam
sudut pandang bisa dipakai, tergantung dari sudut pandang mana kita
menafsirinya, karena makna yang terkandung di dalamnya sangat dalam dan luar
biasa, menyimpan falsafah dalam segala ranah kehidupan.
Menariknya ada
salah satu bait syair tembang “Ilir-Ilir” yang begitu mengingatkan kita tentang
KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Ia adalah tokoh besar dan kharismatik yang
menjadi idola banyak orang. Ini ini terlihat ketika Gus Dur meninggal. Saat itu
semua corak masyarakat dari berbagai kalangan mengirim doa buat Gus Dur. Mereka
merasa sangat kehilangan tokoh yang bisa merangkul semua golongan, tokoh yang
bisa diterima semua golongan dan tokoh yang selalu memperjuangkan nilai-nilai
pluralisme dan demokrasi.
Walaupun berasal
dari kalangan ulama dan kiai, Gus Dur bisa berdialog dan membaur dengan warna
pelangi masyarakat. Tokoh besar seperti Gus Dur inilah yang kemudian
mengingatkan saya pada sosok “bocah angon” yang tersirat dalam tembang
“Ilir-ilir”. Hal ini karena ada banyak kriteria “cah angon” dalam tembang itu
yang juga dimiliki Gus Dur. Dan memang Gus Dur adalah salah satu tokoh abad ini
yang pantas menyandang gelar “cah angon” tersebut.
Simaklah
syairnya yang berbunyi “Cah angon, cah angon, penekno blimbing kuwi”. Dalam
bahasa Indonesia, syair itu artinya “Anak gembala, anak gembala, tolong
panjatkan pohon blimbing itu”.
Yang menjadi
pertanyaan kemudian, mengapa idiom yang dipilih adalah “cah angon” (anak
gembala), bukan jenderal, sastrawan, seniman, cendekiawan, budayawan, atau
lainnya?
Ini karena
seorang pemimpin itu harus mempunyai daya angon, daya menggembala, dan bisa
ngemong (mengasuh), memesrai, dan merangkul semua pihak. Tentu saja ia boleh
seorang jendral, cendekiawan, ulama, kiai, budayawan, dan sebagainya. Yang
terpenting ia memiliki sifat daya angon dan bisa diterima semua kalangan. Cah
angon adalah tokoh nasional, bukan tokoh segerombol golongan yang menciptakan
determinasi dan keseimbangan sendi kehidupan.
Patut pula kita
cermati pilihan kata “penekno blimbing kuwi” dalam tembang tersebut. Mengapa
yang dipilih adalah “blimbing”, bukan kata pelem (mangga), rambutan, salak,
semangka, dan sebagainya? Jawabnya, karena buah blimbing memiliki sifat dan
bentuk yang berbeda dibanding buah lainnya. Buah blimbing berkikir lima yang
mencerminkan falsafah sangat tinggi dan terkait erat dengan pluralisme dan
demokrasi.
Kikir lima dalam
kaca mata Islam dapat diartikan sebagai rukun Islam dan salat lima waktu.
Sedangkan dalam konteks negara, kikir lima juga dapat diartikan sebagai
Pancasila yang menjadi dasar negara kita. Jadi, seorang pemimpin harus bisa
mencapai blimbing. Dalam konteks kenegaraan, ini berarti pemipin harus bisa
mengaplikasikan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
dan berbagai sendi kehidupan untuk mencuci pakaian nasionalisme kita. Dengan
demikian, Pancasila tidak hanya dibaca setiap kali ada upacara bendera dan
kebangsaan, tetapi nila-nilainya diaplikasikan dalam segala rana kehidupan.
Setelah saya
renungkan dalam-dalam falsafah tersebut, saya menelusuri rekam jejak Gus Dur.
Ternyata, sepak terjang tokoh yang saya kagumi dan dikagumi banyak orang itu
cocok dengan tembang tersebut.
Saya pun sadar
bahwa sosok cah angon yang selama ini dinati-nantikan banyak orang adalah tokoh
yang paling populer abad ini, dialah Gus Dur. Gus Dur adalah aktor yang pantas
menempati sosok “bocah angon” dalam tembang “Ilir-ilir” karya Kanjeng Sunan
Kalijogo.
Pertanyaan yang
selama ini menggelitik hati saya kini terjawab sudah. Semoga akan muncul cah
angon-cah angon dan Gus Dur-Gus Dur baru di Indonesia, sehingga akan tercipta
keseimbangan hidup di negara kita tercinta ini.
Semoga
nilai-nilai yang selama ini diperjuangkan oleh cah angon Gus Dur dapat
diteruskan generasi berikutnya sehingga gemah ripa loh jinawi yang ada di tanah
Indonesia segera dirasakan nikmatnya oleh bangsa dan negara ini.
Penulis
adalah Pimpinanan komunitas Lembah Pena “Endhut Ireng” Jombang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar